HISTORITAS PERUPA DALAM BINGKAI PEMBANGUNAN INDONESIA

Sering kita mendengar tentang pengertian pejuang yang selalu dikonotasikan sebagaimana mereka yang mengangkat senjata, namun tidak melulu hal tersebut terjadi, nyatanya mereka yang berjuang dengan seni dan sastra untuk melawan penjajah dan penguasa kerap kali tercantum dalam rekam jejak sejarah. Selain menyuarakan perjuangan dengan karya-karyanya, mereka juga berperan dalam bidang kemajuan seni itu sendiri.

Dalam beberapa hal, kegiatan pemuka agama, ilmuan, politikus, peneliti, filosof lebih sering dikenal berpengaruh terhadap pelbagai kehidupan manusia. Misal, kemajuan ilmu punya pengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan politik, dan juga berpengaruh terhadap kepercayaan agama dan lainnya. Halini serupa dengan apa yang disebutkan oleh Michael H. Hart dalam bukunya “The 100: A Rangking of the Most Influential Persons in History”, seni dan seniman pada umumnya tidaklah begitu banyak pengaruhnya kepada sejarah kemanusiaan dan kehidupan mereka sehari-hari. Dari buku tersebut tercatat seniman hanya menyumbang 4 nama yakni Wiliiam Shakespeare, Michelangelo, Johann Sebastian Bach dan Pablo Picasso.

Namun kendati demikian, kesenangan seseorang terhadap seni merupakan bagian langsung dalam kehidupan individu, meski bukan bagian pokok, tentu saja pribadi seniman bisa saja punya pengaruh terhadap kehidupan kita lebih dari sekedar waktu untuk menikmati hasil karya mereka, hal ini lantaran karyanya telah memengaruhi begitu rupa baiknya karya seniman yang hasilnya kita senangi.

Dalam konteks Indonesia, semangat para seniman menghadapi situasi seperti ini dapat dilihat tentang perspektif bagaimana konsep masyarakat dalam sebuah bangsa memandang seni dan kebudayaan secara umumnya sebagai bagian penting dalam memaknai kehidupan berbangsa. Tentunya gagasan serta ide-ide baru dapat dimunculkan oleh penciptaan suatu karya seni, sehingga dapat diharapkan sebagai suatu praktik semangat nasionalisme pada dimensi sosial era kontemporer.

Membahas soal sejarah, dimana ada suatu aspek yang dilupakan adalah sejarah merupakan proses, sejarah merupakan perkembangan. Menurut Kuntowijoyo, sejarah adalah ilmu diakronis sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalam waktu. Hal ini terhubung dengan konteks masa kini dimana terjadi suatu moment historis dan perubahan besar yang mungkin tidak ditemukan presedennya sebelum ini yaitu situasi pandemi Covid-19.

Perupa di Masa Lalu

Dalam perkembanganya, pencapaian budaya di bidang kesenian khususnya pada seni rupa, dapat dilihat pada dua aspek, yaitu teknik dan konsep-konsep seni yang berkenaan dengan tujuan dan hakikat seni. Konsep mengenai rasa dapat diuji kehadirannya pada ungkapan-ungkapan seni masa lalu yang masih dapat tersampaikan melintasi waktu, juga transformasinya di dalam seni tradisi yang masih hidup hingga kini.

Pendirian PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1938 misalnya, menjadi suatu catatan khusus dimana para seniman kala itu juga berada pada situasi yang tidak baik, yaitu “perang” melawan kolonialisme, hal ini lantas menguntit pada penciptan karya seni. Seperti salah satu contoh anggota dari perkumpulan tersebut, Sudjojono yang justru menjadi penentang utama teknik gaya dan estetika seni lukis pemandangan alam “Mooi Indie”. Mulailah masa selanjutnya dalam perkembangan seni lukis Indonesia baru berkembang. Ia berkeyakinan bahwa pelukis harus bebas dari kaidah-kaidah agar jiwa bisa tercurah kepada isinya dengan sebebas-bebasnya.

Dalam masa itu, seni lukis bukan saja dikuasai oleh tema perjuangan dan penggambaran kehidupan rakyat jelata melainkan juga oleh pengaruh gaya Affandi. Lukisan-lukisan di dalam perkembangannya nampak rasa greget yang intens. Walaupun pada pelukis, lukisannya yang mula-mula objek yang dilukisnya masih nampak jelas rasa greget ini, tidak terlihat kemudian garis-garis dalam lukisannya. Kian lama kian riuh, sehingga lukisan-lukisan yang mutakhir nyaris menjadi abstrak objek yang dilukisnya sudah sukar untuk dikenali.

Cara Affandi melukis paling tegas, dapat dilihat sebagai cara yang percaya akan kegemesan yang mendorong dari dalam, asam penyengat yang dapat dirasakan dari tafsiran suatu objek, dihimpun lalu ditambahkan sekaligus ke dalam sebuah lukisan tanpa banyak memperlihatkan ketentuan-ketentuan. Melukis cara Affandi ini pada gaya lain sekalipun mendasari bangkitnya rasa percaya pada garis sapuan yang ditarik, sebagai catatan dari perasaan sesaat yang unik yang mungkin tak dapat ditemukan lagi pada kala ini.

Pada dasarnya perkembangan seni mutakhir kini, sering disebut sebagai perkembangan seni kontemporer, telah disebutkan tak dapat dipisahkan dengan sistem sosial, ekonomi dan budaya sebuah masyarakat. Perkembangan akhir sejarah seni pun kini berkembang pada wacana yang berpindah dari pembacaan terhadap perkembangan gaya-gaya (isme-isme) seni menuju kearah semiotika dan psikoanalisis yang menyasar lebih pada tanda yang dihasilkan karya seni serta pentingnya siapa individu seniman.

Hal ini dapat ditarik benang merah, setidaknya ada dua poin makna yang terkandung dalam peristiwa lahirnya PERSAGI tersebut.Pertama, gaya dan aliran yang disajikan oleh seniman-seniman kala itu merupakan suatu ekspresi jiwa yang ingin menunjukkan perasaan “terjajah” yang berusaha ingin menghadirkan situasi pada kala itu.Kedua, semangat kebangsaan dan nasionalisme terjalin antar sesama seniman sehingga terwujudnya kemerdekaan.

Selain daripada itu, Kongres Kebudayaan yang dilaksanakan sejak pra-kemerdekaan juga telah melahirkan gagasan-gagasan yang mendasar mengenai bagaimana memahami serta memaknai kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada saat bersamaan, didalam situasi krisis seperti itu, kehidupan budaya dapat dikatakan “bunting” dengan gagasan tentang Indonesia yang menyeruak dan sangat beragam, sehingga dapat disimpulkan secara sederhana tentang gagasan nasionalisme dalam karya seni.

Selanjutnya, pendirian ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) juga menjadi nuasa akan kentalnya nasionalisme, dimana para seniman juga yang mayoritas berasal dari pejuang kemerdekaan. Para pendiri ASRI memiliki pandangan-pandangan seni yang sangat erat dengan semangat kebangsaan yang menentang penjajahan kolonial. Pembentukan akademi ini juga merupakan amanat dari Kongres Kebudayaan Nasional pertama yang diselenggarakan seusai Indonesia merdeka, dengan berbekal dukungan dari sektor pemerintahan para seniman dan budayawan menjadi penggerak awal akademi seni ini, sehingga terbentuknya sebuah sarana pendidikan seni yang adiluhung.

Para seniman yang mendukung atas berdirinya ASRI seperti Sudjojono dan Affandi memiliki karakter yang kuat dalam mengetengahkan seni rupa yang berangkat dari semangat kerakyatan. Sehingga terbentuk dari suatu karakter akademi seni yang khas guna melahirkan karya-karya yang menggambarkan realitas masyarakat kala itu. Begitu juga dengan mahasiswa awal kala itu juga memiliki peranan penting dalam melihat jiwa dan semangat zaman yang sedang mengalami perubahan tatanan, dari kolonial menuju sebuah negara republik yang demokratis.

Kompleksitas institusi seni di masa itu, menjadi landasan-landasan dalam melihat dan memaknai Indonesia sebagai bangsa melalui seni, hingga tercapainya dimasa depan yang semakin tak terelakkan berlangsung dalam arena ekonomi, politik, dan kebudayaan secara umum. Begitu pula dimensi sosial yang semakin kompleks dalam situasi realitas yang termediasi melalui teknologi digital dan jaringan media.

Dalam konteks masa kini, seniman diharapkan mampu untuk memunculkan narasi-narasi melalui karya seni bagaimana memaknai Indonesia didalam kekalutan dengan situasi pandemi ini, tentunya dengan kekuatan seni yang mampu mengimajinasikan sesutau yang belum pernah ada sebelumnya, dengan kontribusi seniman yang sangat diperlukan guna memberikan bayangan yang solid tentang Indonesia di masa kenormalan baru ini.

Referensi

Anusapati, dkk (2020) “70 Tahun ASRI, Lini Baru Pendidikan, Pergulatan Politik Identitas, Medan Pertarungan Baru Seni Rupa Indonesia”, Yogyakarta: Nyala Yogyakarta, 297

Farid, Hilmar (1994) “Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik dan Nasionalisme Indonesia” Kalam ed , 24-36

Hart, Michael (1978) “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History”, Carol Publishing Group/Citadel Press.

Kuntowijoyo, (2013) “Pengantar Ilmu Sejarah”, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 5

Kusnadi, Sejarah Seni Lukis di Jakarta 1945-1983, dalam sebuah Artkel elektronik diakses pada 03-08-2021, 08:13

Prinka, Syahrinur (1976) “Seni Lukis Indonesia Baru-Sebuah Pengantar”, (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 5

Sedyawati, Edi (2007) ”Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah”.  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 65

Soeharso (2006), “Trilogi Seni, Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan Seni” Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 20

Spanjaard, Helena(1998) “Cita-cita Seni Lukis Indonesia Modern 1900-1995”, Yogyakarta: Ombak, 156

Susanto, Mikke (2011) “Diksi Rupa”, Yogyakarta: DictiArt Lab, 303

Penulis : Ivan Maulana