Kampung Pecinan dan Terbentuknya Tata Ruang Kota Jember

Keberadan awal kabupaten Jember secara geografis sebagai kawasan yang sepi dan terisolasi tetapi memiliki posisi yang strategis sehingga dalam kurun waktu yang begitu singkat kawasan Jember berkembang pesat seiring dengan sistem kapitalisme yang diterapkan pada perkebunan partikelir dan peningkatan status menjadi kabupaten tersendiri. Pada tahun 1800-1883 kawasan Jember merupakan bagian dari afdeeling Bondowoso dan pada tanggal 9 Januari 1883 Gubernur Jenderal Hindia Belanda melakukan perubahan untuk memutuskan merubah menjadi afdeeling tersendiri. Kemudian Jember mulai maju karena ditetapkannya peraturan dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1928 untuk peningkatan status yang awalnya setingkat afdeeling menjadi Regentschap Djember sebagai kabupaten. Kabupaten Jember mulai berkembang baik secara administratif sehingga telah menarik perhatian orang Belanda untuk mendirikan sebuah perkebunan di Jember.

Peralihan status Jember sebagai distrik menjadi afdeeling, 13 Januari 1883

Sumber: Subadri Habib dalam buku Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Perkembangan Kabupaten Jember Buku I.

Perkebunan di kabupaten Jember menjadi sumber penghasilan bagi pemerintah kolonial Belanda saat itu. Wilayah perkebunan yang cukup luas maka dibutuhkan tenaga kerja untuk mengelola perkebunan tersebut. Orang-orang Belanda kemudian mendatangkan tenaga kerja dari berbagai daerah, diantaranya orang Madura dan orang Jawa. Jumlah para pekerja yang didatangkan oleh pemerintah kolonial semakin meningkat karena arus migrasi secara besar-besaran dari berbagai daerah. Beberapa dari mereka kemudian menetap di Jember dan membuat permukiman di daerah Jember Utara dan Jember selatan. Jember utara sebagai tempat permukiman orang Madura sedangkan daerah Jember selatan sebagai permukiman orang Jawa.

Personil Landbouw Maatscappij Oud Djember (NV. LMOD)

Sumber: Subadri Habib dalam buku Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Perkembangan Kabupaten Jember Buku I.

Selain itu, terdapat etnis lainnya yang bermigrasi ke Jember sebagai kelompok pedagang, diantaranya etnis Tionghoa dan Arab. Namun kehadiran orang Arab di Jember kurang begitu terlihat, berbeda dengan komunitas orang Arab di Bondowoso yang memiliki kawasan permukiman sendiri atau biasa disebut kampung Arab. Letak permukiman etnis Tionghoa di Jember berbeda dengan etnis Jawa dan Madura yang berada di daerah pedalaman. Sebagai kelompok dagang, etnis Tionghoa menempati pusat kota sebagai tempat permukimannya atau biasa disebut kawasan pecinan. Daerah tersebut sekarang menjadi jalan H. Samanhudi, Sultan Agung, dan Untung Suropati. Etnis Tionghoa berfungsi untuk menghubungkan pemerintah kolonial dengan masyarakat pribumi sebagai konsumen pasar. Pada umumnya etnis Tionghoa membuka usaha toko dan menjadi pedagang kelontong yang menulusuri daerah pedesaan atau biasa disebut Cena tokang mendreng.

Kawasan Pecinan di Jl. Sultan Agung pada tahun 1970

Sumber: Subadri Habib dalam buku Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Perkembangan Kabupaten Jember Buku II.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Retno Winarni dalam bukunya yang berjudul Cina Republik Menjadi Indonesia, mengatakan kedatangan etnis Tionghoa ke kabupaten Jember diperkirakan pada akhir abad ke-19, yaitu pada masa suburnya tembakau di Jember. Etnis Tionghoa tinggal berkelompok di kawasan pecinan yang terletak di pusat kota yang saat ini sebagai pusat perekonomian kota Jember. Sehingga dalam hal ini dapat dilihat bahwa kedatangan etnis Tionghoa ke Jember membawa motif ekonomi. Dalam struktur sosial kehadiran etnis Tionghoa tergolong dalam kelas Timur Asing, yaitu suatu kelas di tengah-tengah kelas Eropa dan pribumi. Dengan adanya stratifikasi sosial tersebut menjadikan mereka lebih mudah untuk berinteraksi dengan  kedua kelas, yakni orang Belanda dan pribumi.

Pengelompokkan kawasan pecinan diatur oleh pemerintah kolonial melalui peraturan wijkenstelsel dan passenstelsel. Adapun peraturan wijkenstelsel atau undang-undang wilayah yang diberlakukan pada tahun 1835 merupakan aturan yang mengharuskan setiap kelompok bermukim di wilayah yang telah ditentukan oleh pemerintah. Dalam undang-undang tersebut, etnis Tionghoa hanya boleh bermukim di wilayah pecinan. Sedangkan kebijakan passenstelsel yang diterapkan pada tahun 1816 merupakan aturan agar setiap penduduk memiliki surat jalan untuk bepergian. Peraturan tersebut telah membatasi ruang gerak etnis Tionghoa dalam aktivitas pekerjaannya sebagai seorang pedagang. Sedangkan bagi yang tidak memiliki kartu passenstelsel dalam perjalanan, mereka dikenai sanksi berupa membayar denda sebanyak 10 gulden.

Para siswa di Chung Hua School

Sumber: Koran SinPo, Saptoe 7 December 1940.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Handinoto dalam jurnal yang berjudul Lingkungan “Pecinan” Dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa Kolonial, mengatakan pada tahun 1905 penduduk kota Jember berjumlah 800 orang (250 Eropa dan 190 orang Cina). Pada tahun 1930 terjadi peningkatan penduduk yang signifikan dengan total 23.000 orang (760 orang Eropa dan 1865 orang Cina). Dalam catatan lain, komposisi penduduk dengan beragam etnis yang bermukim di kawasan Jember dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Komposisi Penduduk di Afdeling Jember pada tahun 1930

DistrikPribumiCinaArabEropaTotal
Jember139.9553.357233902144.447
Mayang94.9625121221295.698
Kalisat131.85695881211133.105
Wuluhan127.1621.038142238128.625
Rambipuji131.92992581153133.088
Tanggul151.0421.342120453152.957
Puger143.4681.32136334145.159
Jumlah920.3749.4527052.548933.079

Sumber: Memories van Overgave van den Residentie Besoeki 1931.

Tabel di atas menunjukkan bahwa keberadaan etnis Tionghoa pada tahun 1930 meningkat begitu pesat. Sehingga kelompok mereka menempati posisi kedua dengan jumlah penduduk yang cukup tinggi dibandingkan dengan orang Arab dan Eropa. Meningkatnya jumlah etnis Tionghoa tidak hanya melalui proses migrasi, akan tetapi dari proses peranakan keberadaan mereka semakin terlihat di Jember khususnya di kawasan pecinan.

Perubahan kawasan pecinan dapat dilihat dari perluasan wilayahnya di pusat kota dan pengaruh mereka terhadap pembangunan perekonomian Jember. Perkembangan aktivitas perdagangan di Jember dapat dilihat melalui berdirinya jumlah pertokoan dan pasar dari tahun ke tahun. Seperti pembangunan komplek pertokoan jompo dan pembangunan Pasar Tanjung pada tahun 1970 yang terletak di kawasan pecinan telah menambah semarak dan ramainya kabupaten Jember.

Menara air yang saat ini terletak di Pasar Tanjung

Sumber: Koran SinPo, Saptoe 9 september 1939

Pada titik inilah pembangunan ekonomi sebagai faktor yang melatarbelakangi bertambah luas kawasan pecinan di pusat kota, sehingga aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa begitu terasa. Pada tahun 1970, Abdul Hadi sebagai bupati Jember saat itu memfokuskan terhadap pembangunan ekonomi agar kabupaten Jember semakin berkembang. Pelaksanaan pembangunan Pasar Tanjung harus disertai dengan penataan kawasan sekitarnya sehingga nantinya mampu mendukung kelancaran aktivitas perdagangan di pasar tersebut.


Sumber :

Jupriono, dkk. Sekilas Wakil Rakyat Dan Perkembangan Kabupaten Jember (Prasejarah s.d 1970-an), Sekertariat DPRD Kabupaten Jember.

Kartodirdjo, Sartono. 2014. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Kuntowijoyo. 2013. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer Jakarta: Idayu Press.

Priyadi, Sugeng. 2012. Sejarah Lokal Konsep, Metode, dan Tantangannya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Winarni, Retno. 2015. Cina Republik Menjadi Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.

Jurnal dan Skripsi:

Arifin, Edy Burhan. 2012. “Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya Pandhalungan”, dalam Jurnal Literasi, Vol. 2, No. 1 Juni: 28-35.

Georeti, Cristian Maria, dkk. 2013 “Chung hua School Sebagai Representasi Pendidikan Etnis Tionghoadi Jember Tahun 1911-1966”, dalam Artikel Hasil Penelitian Mahasiswa. Jember: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNEJ.

Husaimn, Sarkawi B. 2013. “Kesatuan Dalam Keberagaman: Pasang Surut Pembauran Orang-orang Tionghoa di Surabaya”, dalam Jurnal Literasi, Vol. 3, No. 1 Juni: 21-28.

Handinoto. “Lingkungan “Pecinan” dalam Tata Ruang Kota di Jawa Pada Masa Kolonial”, dalam Jurnal Vol. 27, No. 1 Juli: 20-29.

Mauliansyah, Fiandy. 2017. “Positivisme Logis Dalam Languange, Truth, and Logic Karya Alfred Jules Ayer: Sebuah Pandangan Kritis”, dalam Jurnal Source, Vol. 3, No. 2 Oktober: 231-242.

Sasmita, Nurhadi. 2019. “Menjadi Kota Definitif: Jember Abad 19-20, dalam Jurnal Humaniora, Vol. 1, No. 2 Januari: 116-137.

Artikel:

Raditya, Iswara N. “13 Hari Pembantaian Orang Cina di Jakarta”, dalam https://tirto.id/13-hari-pembantaian-orang-cina-di-jakarta-cx2Y (22 Maret 2021).

Penulis : Jergian Jodi

Leave a comment